PENDAMPINGAN SOSIAL
Pemberdayaan masyarakat dapat didefinisikan sebagai tindakan sosial dimana penduduk sebuah komunitas mengorganisasikan diri dalam membuat perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial atau memenuhi kebutuhan sosial sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimilikinya. Dalam kenyataannya, seringkali proses ini tidak muncul secara otomatis, melainkan tumbuh dan berkembang berdasarkan interaksi masyarakat setempat dengan pihak luar atau para pekerja sosial baik yang bekerja berdasarkan dorongan karitatif maupun perspektif profesional. Para pekerja sosial ini berperan sebagai pendamping sosial.
Pemberdayaan masyarakat dapat didefinisikan sebagai tindakan sosial dimana penduduk sebuah komunitas mengorganisasikan diri dalam membuat perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial atau memenuhi kebutuhan sosial sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimilikinya. Dalam kenyataannya, seringkali proses ini tidak muncul secara otomatis, melainkan tumbuh dan berkembang berdasarkan interaksi masyarakat setempat dengan pihak luar atau para pekerja sosial baik yang bekerja berdasarkan dorongan karitatif maupun perspektif profesional. Para pekerja sosial ini berperan sebagai pendamping sosial.
Masyarakat
miskin seringkali merupakan kelompok yang tidak berdaya baik karena
hambatan internal dari dalam dirinya maupun tekanan eksternal dari
lingkungannya. Pendamping sosial kemudian hadir sebagai agen perubah
yang turut terlibat membantu memecahkan persoalan yang dihadapi mereka.
Pendampingan sosial dengan demikian dapat diartikan sebagai interaksi
dinamis antara kelompok miskin dan pekerja sosial untuk secara
bersama-sama menghadapi beragam tantangan seperti; (a) merancang program
perbaikan kehidupan sosial ekonomi, (b) memobilisasi sumber daya
setempat (c) memecahkan masalah sosial, (d) menciptakan atau membuka
akses bagi pemenuhan kebutuhan, dan (e) menjalin kerjasama dengan
berbagai pihak yang relevan dengan konteks pemberdayaan masyarakat.
Pendampingan
sosial sangat menentukan kerberhasilan program penanggulangan
kemiskinan. Mengacu pada Ife (1995), peran pendamping umumnya mencakup
tiga peran utama, yaitu: fasilitator, pendidik, perwakilan masyarakat,
dan peran-peran teknis bagi masyarakat miskin yang didampinginya.
1.
Fasilitator. Merupakan peran yang berkaitan dengan pemberian
motivasi, kesempatan, dan dukungan bagi masyarakat. Beberapa tugas yang
berkaitan dengan peran ini antara lain menjadi model, melakukan mediasi
dan negosiasi, memberi dukungan, membangun konsensus bersama, serta
melakukan pengorganisasian dan pemanfaatan sumber.
2.
Pendidik. Pendamping berperan aktif sebagai agen yang memberi masukan
positif dan direktif berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya serta
bertukar gagasan dengan pengetahuan dan pengalaman masyarakat yang
didampinginya. Membangkitkan kesadaran masyarakat, menyampaikan
informasi, melakukan konfrontasi, menyelenggarakan pelatihan bagi
masyarakat adalah beberapa tugas yang berkaitan dengan peran pendidik.
3.
Perwakilan masyarakat. Peran ini dilakukan dalam kaitannya dengan
interaksi antara pendamping dengan lembaga-lembaga eksternal atas nama
dan demi kepentingan masyarakat dampingannya. Pekerja sosial dapat
bertugas mencari sumber-sumber, melakukan pembelaan, menggunakan media,
meningkatkan hubungan masyarakat, dan membangun jaringan kerja.
4.
Peran-peran teknis. Mengacu pada aplikasi keterampilan yang bersifat
praktis. Pendamping dituntut tidak hanya mampu menjadi ‘manajer
perubahan” yang mengorganisasi kelompok, melainkan pula mampu
melaksanakan tugas-tugas teknis sesuai dengan berbagai keterampilan
dasar, seperti; melakukan analisis sosial, mengelola dinamika kelompok,
menjalin relasi, bernegosiasi, berkomunikasi, memberi konsultasi, dan
mencari serta mengatur sumber dana.
DIMENSI DAN INDIKATOR KEMISKINAN
Pengertian Kemiskinan
· Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak
·
Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis
nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan,
yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan
(poverty threshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang
diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan
setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan
yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan,
transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya
·
Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan dalam
bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntunan non-material yang
diterima oleh seseorang. Secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau
tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, kekurangan
transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat
·
Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan
atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak memenuhi
kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan
·
Kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan
basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi: (a) modal
produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan), (b)
sumber keuangan (pekerjaan, kredit), (c) organisasi sosial dan politik
yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi,
partai politik, organisasi sosial), (d) jaringan sosial untuk memperoleh
pekerjaan, barang, dan jasa, (e) pengetahuan dan keterampilan, dan (f)
informasi yang berguna untuk kemajuan hidup
Dimensi Kemiskinan
Kemiskinan merupakan fenomena yang berwayuh wajah. David Cox (2004:1-6) membagi kemiskinan kedalam beberapa dimensi:
·
Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan
pemenang dan pengkalah. Pemenang umumnya adalah negara-negara maju.
Sedangkan negara-negara berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh
persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi.
·
Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten
(kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan
(kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan),
kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang sebabkan oleh hakekat dan
kecepatan pertumbuhan perkotaan).
· Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas.
·
Kemiskinan konsekuensial. Kemiskinan yang terjadi akibat
kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin,
seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan tingginya
jumlah penduduk.
kemiskinan memiliki berbagai dimensi:
· Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan).
· Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).
· Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).
· Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal.
· Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam.
· Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat.
· Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.
· Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
·
Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak telantar, wanita
korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal
dan terpencil)
DIMENSI DAN INDIKATOR PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Salah
satu pendekatan yang kini sering digunkan dalam meningkatkan kualitas
kehidupan dan mengangkat harkat martabat keluarga miskin adalah
pemberdayaan masyarakat. Konsep ini menjadi sangat penting terutama
karena memberikan perspektif positif terhadap orang miskin. Orang miskin
tidak dipandang sebagai orang yang serba kekurangan (misalnya, kurang
makan, kurang pendapatan, kurang sehat, kurang dinamis) dan objek pasif
penerima pelayanan belaka. Melainkan sebagai orang yang memiliki beragam
kemampuan yang dapat dimobilisasi untuk perbaikan hidupnya. Konsep
pemberdayaan memberi kerangka acuan mengenai matra kekuasaan (power) dan
kemampuan (kapabilitas) yang melingkup aras sosial, ekonomi, budaya,
politik dan kelembagaan.
Secara
konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari
kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide utama
pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan
seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain
melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat
mereka. Ilmu sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan
dengan pengaruh dan kontrol. Pengertian ini mengasumsikan bahwa
kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak berubah atau tidak dapat dirubah.
Kekuasaan sesungguhnya tidak terbatas pada pengertian di atas. Kekuasaan
tidak vakum dan terisolasi. Kekuasaan senantiasa hadir dalam konteks
relasi sosial antar manusia. Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial.
Karena itu, kekuasaan dan hubungan kekuasaan dapat berubah. Dengan
pemahaman kekuasaan seperti ini, pemberdayaan sebagai sebuah proses
perubahan kemudian memiliki konsep yang bermakna. Dengan kata lain,
kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua
hal: (1) Bahwa kekuasaan dapat berubah. Jika kekuasaan tidak dapat
berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun; dan (2)
Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada pengertian
kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis.
Pengertian Pemberdayaan
· Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung
· Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial
·
Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan
komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas)
kehidupannya
·
Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup
kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan
mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang
mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang
memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk
mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi
perhatiannya
·
Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok
rentan dan lemah, untuk (a) memiliki akses terhadap sumber-sumber
produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan
memperoleh barang-baran dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (b)
berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang
mempengaruhi mereka.
Beragam
definisi pemberdayaan menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah sebuah
proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian
kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah
dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah
kemiskinan. Sebagi tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau
hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat
miskin yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan
kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik,
ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu
menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam
kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas
kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali
digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah
proses.
Indikator Pemberdayaan
Agar
para pendamping mengetahui fokus dan tujuan pemberdayaan, maka perlu
diketahui berbagai indikator yang dapat menunjukkan seseorang itu
berdaya atau tidak. Sehingga ketika pendampingan sosial diberikan,
segenap upaya dapat dikonsentrasikan pada aspek-aspek apa saja dari
sasaran perubahan (keluarga miskin) yang perlu dioptimalkan. Schuler,
Hashemi dan Riley mengembangkan beberapa indikator pemberdayaan, yang
mereka sebut sebagai empowerment index atau indeks pemberdayaan
(pendekatan CDD)
·
Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah
atau wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis,
bioskop, rumah ibadah, ke rumah tetangga. Tingkat mobilitas ini dianggap
tinggi jika individu mampu pergi sendirian.
·
Kemampuan membeli komoditas ‘kecil’: kemampuan individu untuk
membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari (beras, minyak
tanah, minyak goreng, bumbu); kebutuhan dirinya (minyak rambut, sabun
mandi, rokok, bedak, sampo). Individu dianggap mampu melakukan kegiatan
ini terutama jika ia dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin
pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut
dengan menggunakan uangnya sendiri.
·
Kemampuan membeli komoditas ‘besar’: kemampuan individu untuk
membeli barang-barang sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian, TV,
radio, koran, majalah, pakaian keluarga. Seperti halnya indikator di
atas, poin tinggi diberikan terhadap individu yang dapat membuat
keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat
membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.
·
Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputuan rumah tangga: mampu
membuat keputusan secara sendiri mapun bersama suami/istri mengenai
keputusan-keputusan keluarga, misalnya mengenai renovasi rumah,
pembelian kambing untuk diternak, memperoleh kredit usaha.
·
Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya
mengenai apakah dalam satu tahun terakhir ada seseorang (suami, istri,
anak-anak, mertua) yang mengambil uang, tanah, perhiasan dari dia tanpa
ijinnya; yang melarang mempunyai anak; atau melarang bekerja di luar
rumah.
·
Kesadaran hukum dan politik: mengetahui nama salah seorang pegawai
pemerintah desa/kelurahan; seorang anggota DPRD setempat; nama presiden;
mengetahui pentingnya memiliki surat nikah dan hukum-hukum waris.
·
Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes: seseorang dianggap
‘berdaya’ jika ia pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain
melakukan protes, misalnya, terhadap suami yang memukul istri; istri
yang mengabaikan suami dan keluarganya; gaji yang tidak adil;
penyalahgunaan bantuan sosial; atau penyalahgunaan kekuasaan polisi dan
pegawai pemerintah.
·
Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga: memiliki rumah,
tanah, asset produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin
tinggi jika ia memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau
terpisah dari pasangannya.
Keberhasilan
pemberdayaan keluarga miskin dapat dilihat dari keberdayaan mereka yang
menyangkut kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses manfaat
kesejahteraan, dan kemampuan kultural dan politis jenis. Ketiga aspek
tersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan, yaitu: ‘kekuasaan di
dalam’ (power within), ‘kekuasaan untuk’ (power to), ‘kekuasaan atas’
(power over), dan ‘kekuasaan dengan’ (power with).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar